PEMERINTAH dan Parlemen saat ini sedang intens membahas Rancangan Undang Undang ( RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan ( RUU PPSK). Tujuan yang paling menonjol dari RUU ini adalah untuk membentuk protokol mitigasi resiko sektor keuangan terhadap kemungkinan kondisi krisis keuangan dan ekonomi dan menarik Investor di sektor keuangan.

Dunia saat ini sedang dihadapkan pada kondisi resesi dan ancaman krisis ekonomi yang diindikasikan akan terjadi puncaknya pada tahun 2023. Untuk itulah pemerintah dan parlemen terlihat begitu getol untuk mempercepat disyahkanya RUU PPSK tersebut. Namun rupanya rancangan regulasi tersebut dibentuk secara serampangan.

Membaca naskah akademik dan juga isi dari RUU PPSK yang ada, dari segi proses dan substansi terlihat cacat. RUU tersebut sudah cacat secara basis epistemologi atau metodologi.  Selain miskin substansi yang penting untuk memperkuat sistem ekonomi konstitusi kita yang berdasar pada sistem demokrasi ekonomi.

Menurut kajian kami, RUU yang ada tidak menyertakan proses partisipatif dari masyarakat. Sebut saja misalnya tentang pasal koperasi. Di RUU tersebut orang koperasi tidak ada yang terwakili dalam proses penyusunan maupun didengar aspirasinya.

Proses penyusunan naskah akademiknya disusun secara miskin referensi serta justifikasi baik secara teoritis akademik maupun empiris.  RUU tersebut dibentuk secara top down ( atas – bawah) dan hanya jadikan gerakan koperasi sebagai korban dari naskah yang amburadul tersebut dan hanya jadi rompi pengaman bagi pelegalan perampokan uang negara untuk melindungi kepentingan elite konglomerat pemilik bank dan asuransi komersial dan juga memberikan kebal hukum terhadap pengambil kebijakannya.

RUU tersebut juga tidak didasarkan pada substansi penting bagi proses memperkuat ekonomi konstitusi. Kami tidak melihat di kajian akademik yang dibuat secara ngawur tersebut.

Sebut misalnya di pasal tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diperluas fungsinya untuk menalangi perusahaan asuransi  serta bank kapitalis, namun tidak untuk koperasi. Ini adalah jelas dan terang sebagai bentuk diskriminasi dan sekaligus sebagai bentuk pengkerdilan koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi.

Secara terang-terangan mereka abaikan lembaga ekonomi demokratis yang digadang oleh pendiri republik ini jadi soko guru ekonomi.

Tak hanya itu,  penyusunan RUU ini justru memperkuat aksi polisional terhadap koperasi dengan menambahkan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masuk mengkooptasi koperasi dan abaikan prinsip penting otonomi dan demokrasi koperasi yang selama ini justru jadi kekuatan daya tahan (riselensi) koperasi.

Sebut saja misal di Jerman, di negara yang pertama kali membentuk gerakan koperasi simpan pinjam ini sejak 90 tahun silam kuat dan tidak pernah menerima dana talangan (bailout) dan  berhasil merebut layanan pangsa pasar sektor keuangan di negara tersebut karena hargai distingsi koperasi sebagai organisasi self regulated organization. Betapa mereka adalah pembayar pajak tidak pernah menerima dana talangan sebagaimana diperoleh bank komersial kapitalis.

Kalau motivasinya untuk selamatkan ekonomi masyarakat kenapa terjadi diskriminasi terhadap lembaga ekonomi demokratis koperasi?. Kenapa justru koperasi yang sama-sama sebagai badan hukum ficta persona yang direkognisi negara ini disingkirkan di RUU tersebut.

Secara garis besar, RUU Omnibus Law PPSK ini kami tolak karena tidak memiliki kelayakan dalam proses penyusunanya maupun substabsinya. Oleh Suroto: Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

Sumber : bisnistoday.co.id/ruu-omnibus-law-ppsk-cacat-secara-epistemologi-dan-kerdilkan-koperasi/

Bagikan ke :